Persoalan mulai muncul ketika
produk-produk investasi berkembang demikian cepat dan mencari celah-celah
regulasi sehingga produk-produk tersebut tidak berada dalam yurisdiksi
otoritas-otoritas yang selama ini bertugas mengawasi perusahaan yang menjual
produk investasi. Contoh yang paling
anyar adalah kasus investasi emas bodong.
Tahun lalu Malaysia dan Singapura
dikejutkan dengan skandal besar investasi emas bodong. The Gold Guarantee Malaysia (TGG-M) dan Asia Pacific Bullion yang berbasis di
Singapura dikejutkan dengan kaburnya pemimin perusahaan itu, Lee Song
Teck. Geneva Singapura juga melakukan
hal yang sama, pemimpinnya, Leow Wee Khong, tidak diketahui keberadaanya. Bank
Sentral Singapura memasukkan tiga perusahaan itu dalam Daftar Waspada Investasi
Perusahaan Tidak Berijin.
Bank Sentral Malaysia melakukan
hal yang sama untuk Geneva Malaysia, Pageantry Gold, Caesar Gold, Worldwide Far
East dan Bestino. Sebagai taktik
pemasarannya, salah satu perusahaan itu malah mengaku model penjualan emasnya
telah disetujui oleh Bank Sentral, sesuai dengan prinsip syariah dan mempunyai
Dewan Pengawas Syariah, bahkan menampilkan foto mantan Perdana Menteri Malaysia
untuk meyakinkan calon nasabahnya. Tiga
pemimpin Geneva, Marcus Yee Yuen Seng, Ng Poh Weng, Chin Wai Leong disangkakan
telah melakukan praktek bank gelap, pencucian uang dan penghindaran pajak oleh
Bank Sentral Malaysia. Tiga orang ini
juga menjadi pemimpin Geneva Singapura.
Perusahaan-perusahaan investasi
emas bodong ini bersembunyi di celah regulasi yang belum mengatur penjualan
produk investasi emas berkedok penjualan emas.
Mekanisme bisnis mereka adalah menjual emas dengan harga 20-25% diatas
harga pasar. Katakan saja harga pasar Rp
500 ribu puriah per gram, dijual Rp 600 ribu per gram. Nasabah mendapat dua hal untuk kelebihan
harga itu. Pertama, nasabah dapat diskon
harga 2,5% per bulan dari harga beli emas.
Kedua, pada akhir periode kontrak nasabah dapat jaminan pembelian
kembali emas seharga harga belinya.
Selisih harga emas itulah yang
menyebabkan perusahaan sejenis ini tidak dapat dikategorikan sebagai perusahaan
penjual emas, tapi masuk dalam kategori perusahaan yang menjual produk
investasi. Selisih harga emas itulah
yang berpotensi menjadi money game atau dikenal luas sebagai sistem ponzi. Itu pula yang dijadikan alasan Bank Sentral
Malaysia mengenakan sangkaan “penghimpunan dana masyarakat secara ilegal”. Dalam prakteknya, bahkan sebagian besar
transaksi tidak terjadi penyerahan fisik emas, atau hanya sebagian kecil emas
yang diserahkan fisiknya, atau terjadi selisih waktu antara penyerahan uang
dengan penyerahan fisik emas.
Model bisnis yang persis sama
kemudian ditawarkan di Indonesia. Salah satu perusahaan bahkan menggunakan
taktik pemasaran yang persis sama.
Dengan menyalah-gunakan rekomendasi Dewan Syariah Nasional MUI yang
seharusnya digunakan untuk mengurus kelengkapan ijin legalitas dari otoritas
yang berwenang, namun digunakan untuk kepentingan pemasaran mengelabui calon
nasabah. Juga menampilkan foto Ketua DPR
dan Ketua MUI untuk tujuan yang sama.
Setelah itu, giliran Indonesia dikejutkan dengan skandal yang sama,
kaburnya pemilik PT GTIS warga negara Malaysia, Michael Han Cun Ong, Edward
C.H. Ho, sedangkan Dato Zahari Sulaiman sebagai komisarisnya.
Kesadaran otoritas keuangan akan
adanya celah regulasi ini, terlihat dari munculnya berbagai regulasi di
beberapa negara tentang investasi emas.
Cina bahkan sejak tahun 1949 melarang penjualan produk investasi emas oleh
swasta, baru sejak tahun 2002 diijinkan bertahap dengan aturan yang ketat. Amerika Serikat juga telah melarang semua
produk investasi emas dalam bentuk produk derivatif emas dan perak kepada
investor ritel. Bank Sentral India juga
membuat regulasi tentang hal yang sama.
Otoritas Malaysia dan Singapura memasukkannya kedalam yurisdiksi mereka
sebagai kegiatan shadow banking.
Itu sebabnya ketika GTIS meminta
rekomendasi DSN MUI untuk kelengkapan dokumen mengurus legalitas ijin, DSN MUI
memberikan sederet ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi. Diantara yang terpenting adalah harusnya
adanya penyerahan uang dan fisik emas secara tunai pada saat yang bersamaan.
Memahami adanya perbedaan harga pembelian emas dengan harga pasar, yang
memasukkan perusahaan ini sebagai perusahaan yang menjual produk investasi, DSN
MUI mengarahkan perusahaan ini mengurus legalitas ijinnya ke Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
OJK tidak menjadi pilihan karena yurisdiksinya tidak mencakup produk
investasi berbasis komoditi.
Ada dua alasan DSN MUI
mengarahkannya ke Bappebti. Pertama, UU
No.10 tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi telah mengakomodir
produk syariah. Kedua, DSN MUI telah
bekerjasama dengan Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) untuk produk syariah
berdasarkan Fatwa DSN No. 82 tahun 2011.
Hal ini sangat penting karena model bisnis seperti yang ditawarkan GTIS
ini memang belum dikenal dalam yurisdiksi Bappebti, BBJ, dan berbeda dengan
yang digariskan dalam Fatwa No. 82.
GTIS bermain di celah regulasi
yang ada. Tidak masuk yurisdiksi Bank
Indonesia, OJK, maupun Bappebti.
Yurisdiksi penjualan fisik emas juga tidak karena adanya perbedaan harga
beli emas dengan harga pasar, ada diskon bulanan, ada kontrak, ada buy back
guarantee. DSN MUI jelas bukan otoritas
yang memiliki yurisdiksi. DSN MUI diberi
wewenang oleh UU Perseroan Terbatas untuk memberikan rekomendasi syariah yang
diperlukan dalam mengurus ijin usaha bagi perusahaan yang akan menawarkan
produk berbasis syariah.
Bank Indonesia sebagai otoritas
yang mengatur micro-prudential khususnya bidang perbankan, memang tidak
memiliki wewenang untuk mengatur perusahaan non-bank seperti GTIS. Namun bila GTIS melakukan kegiatan shadow
banking tentu masuk dalam ranah BI.
Sebagai otoritas macro-prudential yang mencakup otoritas moneter dan
sistem pembayaran, jelas berkepentingan dengan cadangan emas dan cadangan
devisa, dan tentunya perdagangan emas dan valas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar